Ada
sebuah anggapan bahwa istilah hadits hasan baru digunakan pada masa
Imam Tirmidzi. Imam Tirmidzilah yang dianggap sebagai orang pertama
yang menggunakan istilah hadits hasan. Dari anggapan ini lahirlah
sebuah pendapat bahwa hadits hasan belum ada sebelum masa Imam
Tirmidzi, dan apabila ada seorang Imam sebelum Imam Tirmidzi yang
berhujjah dengan hadits dhaif maka sebenarnya hadits tersebut adalah
hadits hasan, yang mana pada waktu itu belum dikenal sebagai hadits
hasan.
Anggapan
ini dikenal luas di kalangan pelajar ilmu syar'i. Beberapa kali saya
terlibat diskusi bersama rekan-rekan penuntut ilmu syar'i, tidak
sedikit dari mereka yang menganggap bahwa hadits hasan belum ada
sebelum Imam Tirmidzi. Tidak diketahui dengan pasti apa yang
menjadikan anggapan ini masyhur di kalangan mereka. Mungkin yang
menjadi sebabnya adalah taqlid terhadap pernyataan seorang ulama,
ustadz, atau guru pengajar. Namun sayang, anggapan yang sudah
terlanjur dianggap benar ini tidak sepenuhnya benar. Karena ternyata
hadits hasan sudah ada sebelum Imam Tirmidzi. Istilah tersebut sudah
digunakan para imam bahkan sebelum Imam Tirmidzi dilahirkan.
Jika
ada dua orang berdebat tentang ada dan tiada. Maka yang mengatakan
"ada" harus membawakan bukti. Sedangkan yang mengatakan
"tiada" akan tetap berada pada pendapatnya selama bukti
belum ditemukan. Dalam permasalahan ini saya mengatakan bahwa istilah
hadits hasan sebelum Imam Tirmidzi "ada". Berikut ini
adalah bukti bahwa para ulama sebelum Imam Tirmidzi sudah menggunakan
istilah hadits hasan. Di antara mereka yang menggunakan istilah
tersebut adalah:
1.
Imam Syu'bah bin Hajjaj rahimahullah
(85-160 H)
Abdurrahman
bin Abi Hatim meriwayatkan dialog yang terjadi antara Imam Syu'bah
dan muridnya. Salah seorang muridnya bertanya:
لِمَ
تَرَكْتَ الرِّوَايَةَ عَن عَبْدِ
المَلِكِ بْنِ أَبِى سُلَيمَانَ وَهُوَ
حَسَنُ الحَدِيثِ؟
Mengapa
anda meninggalkan riwayat Abdul Malik bin Abi Sulaiman, padahal
hadisnya hasan?
Imam
Syu'bah menjawab:
مِنْ
حُسْنِ حَدِيثِهِ أَفِرُّ
Karena
haditsnya yang hasan itulah aku lari darinya[1]
.
Perhatikan
istilah hasanul hadits
yang ditanyakan muridnya Imam Syu'bah. Ini menunjukkan bahwa istilah
hadits hasan sudah dikenal di masa itu. Jika tidak, tentunya Imam
Syu'bah tidak akan mengerti pertanyaan muridnya tersebut. Akan tetapi
di sini Imam Syu'bah justru menjawab dengan istilah yang sama yang
digunakan muridnya.
2.
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i rahimahullah
(150-204 H)
Di
dalam kitabnya Al-Um, Imam Syafi'i menghasankan sebuah hadits yang
beliau gunakan sebagai hujjah bahwa orang-orang kafir ahli
dzimmah dikenakan
kewajiban membayar jizyah
setiap tahunnya sebanyak satu dinar. Berikut ini redakasinya:
أَخْبَرَنِي
مُطَرِّفُ بْنُ مَازِنٍ وَهِشَامُ بْنُ
يُوسُفَ بِإِسْنَادٍ لَا أَحْفَظُهُ
غَيْرَ أَنَّهُ حَسَنٌ أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَرَضَ عَلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ مِنْ
أَهْلِ الْيَمَنِ دِينَارًا كُلَّ سَنَةٍ.
Akhbarani[2]
Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf dengan isnad yang aku tidak
menghafalnya akan tetapi hasan, bahwasanya Rasulullah shallallahu
'alaihi wa salam mewajibkan bagi ahli dzimmah penduduk Yaman untuk
membayar jizyah sebesar satu dinar setiap tahunnya[3].
Tidak
hanya itu, Imam Syafi'i juga menilai mursal Ibnul Musayyab dengan
kategori hasan. Ketika Imam Sya'fi'i meriwayatkan hadits Nabi tentang
larangan membeli daging dengan hewan yang masih hidup, beliau
mengatakan:
وَإِرْسَالُ
ابْنِ الْمُسَيِّبِ عِنْدَنَا حَسَنٌ
Irsal
Ibnul Musayyab bagi kami hasan[4].
3.
Imam Yahya bin Ma'in rahimahullah
(157-233 H)
Ketika
Imam Yahya bin Ma'in mengomentari Abu Ma'syar Najih bin Abdirrahman
As-Sindi, beliau mengatakan bahwa riwayat Abu Ma'syar tentang tafsir
yang beliau riwayatkan dari gurunya Muhammad bin Ka'ab Al-Qurazhi
derajatnya hasan. Abu Ma'syar sendiri adalah perawi yang dhaif,
akan tetapi riwayat tafsirnya dari Muhammad bin Ka'ab
Al-Qurazhi adalah hasan. Berikut ini redaksi perkataan beliau:
أَبُو
معشر، اكتبوا حَدِيث مُحَمَّد بن كَعْب
فِي التَّفْسِير وَأما أَحَادِيث نَافِع
وَغَيرهَا فَلَيْسَ بِشَيْء، التَّفْسِير
حَسَنٌ.
Abu
Ma'syar, silahkan kalian tulis haditsnya dari Muhammad bin Ka'ab
tentang tafsir. Sedangkan hadits-hadits dari Nafi' dan lainnya tidak
bernilai apa-apa, (akan tetapi) tafsirnya yang hasan[5].
4.
Imam Ali Ibnul Madini (161-234 H)
Di
dalam kitab Ilalnya, Imam Ali Ibnul Madini mengomentari hadits Umar
bin Khaththab bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa salam bersabda:
إِنِّي
مُمْسِكٌ بِحُجَزِكُمْ عَن النَّارِ
Aku
menarik sabuk kalian dari api neraka.
Imam
Ali Ibnul Madini berkomentar:
هَذَا
حَدِيثٌ حَسَنُ الْإِسْنَادِ
Hadits
ini isnadnya hasan[6].
5.
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
Imam
Ahmad yang selama ini dianggap bahwa hadits dhaif yang beliau
rekomendasikan untuk diamalkan dalam fadhail amal adalah hadits
hasan. Dengan alasan di zaman Imam Ahmad belum ada istilah hadits
hasan. Di zaman Imam Ahmad hadits hanya dibagi menjadi dua; shahih
dan dhaif. Jadi jika Imam Ahmad membolehkan menggunakan hadits dhaif
maka yang dimaksud adalah hadits hasan. Anggapan ini keliru, karena
Imam Ahmad sendiri justru telah menggunakan istilah hasan. Imam Abu
Dawud dalam beberapa riwayatnya sering mendengar Imam Ahmad menilai
seorang perawi dengan istilah hasanul
hadits. Di antara
riwayat-riwayat tersebut adalah sebagai berikut:
Abu
Dawud mengatakan:
وَسمعت
أَحْمد قَالَ ابْن جَابر حسن الحَدِيث
Aku
mendengar Ahmad berkata: Ibnu Jabir hasanul
hadits[7].
Di
lain waktu Abu Dawud juga mengatakan:
سَمِعت
أَحْمد قَالَ سلم بن أبي الذَّيَّال حسن
الحَدِيث
Aku
mendengar Ahmad mengatakan: Salam bin Abi Dzayyal hasanul
hadits[8].
Di
kesempatan lain, Abu Dawud bertanya kepada Ahmad bin Hambal tentang
seorang perawi bernama Qurrah bin Khalid. Beliau menjawab:
ثِقَة
ثِقَة حسن الحَدِيث
Tsiqah-tsiqah
hasanul hadits[9]
Dan
masih banyak lagi bukti penggunaan istilah hasanul
hadits dari Imam Ahmad.
Silahkan untuk merujuk ke Kitab Al-Ilal wa Ma'rifatir Rijal dengan
berbagai riwayat. Adapun contoh di atas, diambil dari riwayat Abu
Dawud As-Sijistani.
6.
Imam Abu Zur'ah Ar-Razi (194 - 264 H)
Salah
seoeang murid Imam Abu Zur'ah yang bernama Sa'id bin Amr Al-Bardza'i
berkata: Aku mendengar Abu Zur'ah bercerita:
Suatu
ketika datanglah seseorang kepada Abu Ghassan An-Nahdi mengatakan:
silahkah wahai Abu Ghassan! Abu Ghassan pun marah, kemudian berkata:
semisal diriku dipersilahkan untuk menguji orang-orang hebat seperti
mereka?!. Sungguh aku tidak akan meriwayatkan hadits ini, ini dan
ini.
Abu
Zur'ah berkata:
فَكَمْ
مِنْ حَدِيثٍ حَسَنٍ فَاتَنَا عَنْ أَبِي
غَسَّانَ بِهَذَا السَّبَبِ وَنَحْنُ
مُقِيمُونَ بِالكُوفَةِ
Betapa
banyak hadits hasan yang luput dari kami karena sebab ini, padahal
ketika itu kami bermukim di Kufah[10].
7.
Abu Hatim Ar- Razi (195 - 277 H)
Dalam
Kitab Ilalnya, Abdurrahman bin Abi Hatim menceritakan dialognya
dengan ayah beliau; Abu Hatim Ar-Razi. Abdurrahman menanyakan tentang
hadits shalat malam dua raka'at-dua raka'at. Terdapat khilaf dalam
sanad periwayatan hadits ini antara Laits bin Sa'ad dan Syu'bah bin
Hajjaj.
Laits
bin Sa'ad meriwayatkan melalui jalur Abdu Rabbihi bin Sa'id, dari
Imran bin Abi Anas, dari Abdullah bin Nafi' bin Al-'Amya', dari
Rabi'ah bin Al-Harits, dari Al-Fadhl bin Abbas dari Nabi shallallahu
'alaihi wa salam.
Sedangkan
Syu'bah bin Hajjaj meriwayatkan dari jalur Abdu Rabbihi bin Sa'id,
dari Anas bin Abi Anas, dari Abdullah bin Nafi' bin Al-'Amya', dari
Abdullah bin Al-Harits, dari Muththalib (bin Abi Wada'ah), dari Nabi
shallallahu 'alaihi wa salam.
Perbedaannya
adalah ketika Laits mengatakan Imran bin Abi Anas, Syu'bah mengatakan
Anas bin Abi Anas. Ketika Laits mengatakan Rabi'ah bin Al-Harits,
Syu'bah mengatakan Abdullah bin Al-Harits. Abdurrahman pun menanyakan
manakah di antara kedua jalur ini yang benar? Abu Hatim mengatakan
bahwa jalur Laits bin Sa'adlah yang benar. Karena Anas bin Abi Anas
tidak dikenal, dan Abdullah bin Al-Harits tidak bermakna, akan tetapi
dia adalah Rabi'ah bin Al-Harits.
Kemudian
Abdurrahman bertanya kembali,
Abdurrahman:
Apakah jalurnya Laits itu shahih?
Abu
Hatim: hasan.
Abdurrahman:
Siapakah Rabi'ah bin Al-Harits?
Abu
Hatim: Beliau adalah Rabi'ah bin Al-Harits bin Abdil Muththalib.
Abdurrahman:
Apakah beliau mendegar dari Fadhl bin Abbas?
Abu
Hatim: Beliau bertemu dengannya.
Abdurrahman:
Apakah haditsnya Rabi'ah bisa dijadikan hujjah?
Abu
Hatim: Hasan
Aku
terus menanyakan hal ini kepada ayahku, namun beliau hanya menjawab:
hasan. Ayahku mengatakan: yang hujjah adalah Sufyan dan Syu'bah.
Abdurrahman
bertanya kembali: Bagaimana dengan Abdu Rabbihi bin Sa'id?
Abu
Hatim: Tidak mengapa.
Abdurrahman:
Apakah haditsnya hujjah?
Abu
Hatim: Beliau hasanul
hadits (haditsnya
hasan)[11].
Inilah
beberapa imam ahli hadits yang menggunakan istilah hasan
sebelum Imam Tirmidzi. Namun penting bagi kita untuk mengetahui
periode Imam Tirmidzi. Imam Tirmidzi lahir tahun 210 H dan wafat
tahun 279 H. Kemudian para ulama di atas periodenya jauh sebelum Imam
Tirmidzi, kecuali Abu Zur'ah dan Abu Hatim. Kedua ulama Ilal ini
terhitung gurunya Imam Tirmidzi. Abu Zur'ah dan Abu Hatim lahir 194
dan 195 H. Ketika Imam Tirmidzi lahir tahun 210 H, umur kedua imam
tersebut sekitar lima belas tahun dan diperkirakan beliau berdua
sudah memulai menuntut ilmu hadits. Artinya beliau berdua sudah
mengenyam ilmu hadits sekitar sepuluh atau lima belas tahun lebih
dulu daripada Imam Tirmidzi. Dengan demikian istilah hadits hasan
tentunya sudah beliau berdua kenal sebelum itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Ad-Dhu'afa'
wa Ajwibatu Abi Zur'ah Ar-Razi 'alal Bardza'i. Madinah: Universitas
Islam Madinah. Cetakan pertama, 1982.
Al-Jarh
wat Ta'dil Libni Abi Hatim, Beirut: Dar Ihyait Turats Al-Arabi.
Cetakan Pertama, 1952.
Al-Um
Lis Syafi'i, Beirut: Darul Ma'rifah. 1990.
Ilal
Ibnu Abi Hatim. Mathabi' Al-Humaidhi. Cetakan pertama, 2006.
Ilal
Ibnul Maidini, Beirut: Al-Maktab Al-Islami. Cetakan kedua, 1980.
Min
Kalami Abi Zakariya Yahya bin Ma'in fir Rijal riwayat Thahman.
Damaskus: Darul Ma'mun Lit-Turats.
Mukhtashar
Muzani, Beirut: Darul Kutub Al-Arabiyyah. Cetakan Pertama, 1998
Su'alat
Abi Dawud Lil Imam Ahmad, Madinah: Maktabatul Ulum wal Hikam. Cetakan
pertama, 1414 H.
[1]Al-Jarh
wat Ta'dil Libni Abi Hatim,
Beirut: Dar Ihyait Turats Al-Arabi. Cetakan Pertama, 1952. (5/367)
[2]
Akhbarani
adalah istilah periwayatan yang digunakan bila metode periwayatan
haditsnya adalah metode qira'ah.
[3]
Al-Um Lis Syafi'i,
Beirut: Darul Ma'rifah. 1990. (4/189)
[4]
Mukhtashar Muzani,
Beirut: Darul Kutub Al-Arabiyyah. Cetakan Pertama, 1998 (hal: 112)
[5]
Min Kalami Abi Zakariya
Yahya bin Ma'in fir Rijal riwayat Thahman.
Damaskus: Darul Ma'mun Lit-Turats. (hal: 90)
[6]
Ilal Ibnul Maidini,
Beirut: Al-Maktab Al-Islami. Cetakan kedua, 1980. (hal: 94)
[7]
Su'alat Abi Dawud
Lil Imam Ahmad, Madinah:
Maktabatul Ulum wal Hikam. Cetakan pertama, 1414 H. (no masalah: 279)
[8]
Ibid, (no
masalah: 493)
[9]
Ibid, (no masalah: 451)
[10]
Ad-Dhu'afa' wa
Ajwibatu Abi Zur'ah Ar-Razi 'alal Bardza'i.
Madinah: Universitas Islam Madinah. Cetakan pertama, 1982. (2/772)
[11]
Ilal Ibnu Abi Hatim.
Mathabi' Al-Humaidhi. Cetakan pertama, 2006. (no masalah: 324 dan
365)
Oleh : Haidir Rahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar